Popular Post :

Clock

Advertiser

Flag Counter

free counters

Latest Post

Tiga Sisi Pemberdayaan

Kamis, 12 April 2012 | 0 komentar



Dengan memperhatikan salah satu ciri utama pemberdayaan yang menitikberatkan pada peran dan partisipasi masyarakat sejak perencanaan sampai pelaksanaan dan pemeliharaan, maka yang paling berperan dalam proses pemberdayaan adalah masyarakat itu sendiri. artinya, proses pemberdayaan itu terjadi atas dasar kemandirian masyarakat dalam memanfaatkan segala bentuk potensi yang dimilikinya, seperti potensi agama, ekonomi, kekuatan budaya dan sebagainya.
Pemberdayaan adalah sebuah proses bukan sebuah "proses instan". sebagai proses, pemberdayaan mempunyai tiga tahapan: penyadaran, pengkapasitasan dan pendayaan.
tahap pertama. pada tahap ini target yang hendak diberdayakan diberi"pencerahan" dalam bentuk pemberian penyadaran bahwa mereka mempunyai hak untuk mempunyai "sesuatu".
tahap kedua. inilah yang sering kita sebut "capacity building", atau dalam bahasa yang lebih sederhana memampukan atau enabling. untuk diberikan daya atau kuasa, yang bersangkutan harus mampu terlebih dahulu.
tahap ketiga. pemberian daya itu sendiri atau "empowerment" dalam makna sempit. pada tahap ini, kepada target diberikan daya, kekuasaan, otoritas, atau peluang, pemberian ini sesuai dengan kualitas kecakapan yang telah dimiliki.
Continue Reading

Macam-Maca Metode Dakwah

Selasa, 12 Juli 2011 | 0 komentar

Islam adalah agama yang selalu mendorong pemeluknya untuk senantiasa aktif melakukan kegiatan dakwah, bahkan maju mundurnya umat islam sangat bergantung dan berkaitan erat dengan kegiatan dakwah yang di lakukannya. Oleh karena itu Al-Qur’an menyebutkan kegiatan dakwah dengan Absanu Qaula. Dengan kata lain biasa kita simpulkan bahwa menempati posisi yang begitu tinggi dan mulia dalam kemajuan agama islam. Kita tidak dapat membayangkan apabila kegiatan dakwah mengalami kelumpuhan.

Seorang da’I atau mubaligh dalam menentukan Strategi Dakwahnya sangat memerlukan pengetahuan di bidang metodologi. Selain itu bila pola berpikir kita berangkat dari pendekatan system, dakwah merupakan suatu system dan metodologi mempunyai peranan dan kedudukan yang sejajar dengan unsur-unsur yang lain, sepertitujuan dakwah, sasaran dakwah, subjek dakwah, dan sebagainya.

Oleh sebab itu, agar dakwah mencapai sasara-sasara strategis jangka panjang, maka di perlukan suatu sistem manejerial komunikasi baik dalam penataan, perkataan maupun perbuatan yang banyak dalam hal sangat relevan dan terkait dengan nilai-nilai keislaman. Dengan adanya kondisi seperti itu, maka para da’I harus mempunyai pemahaman yang mendalam, bukan saja menganggap bahwa frame (Amal Ma’rup Nahi Mungkar) hanya sekedar menyampaikan saja melainkan harus memenuhi beberapa syarat, di antaranya:

Mencari materi yang cocok atau yang sesua dengan sikon
Mengetahui psikologi objek dakwah secara tepat
Memilih metode yang representatif
Menggunakan bahasa yang efektif dan bijak sana


Islamic Community Development


Continue Reading

Tip Mengobati Gatal Dari Ulat Bulu

Minggu, 17 April 2011 | 0 komentar

Mari kita simak bersama-sama tip mengobati gatal-gatal dari ulat bulu. 

Ulat bulu telah mewabah di Indonesia. Binatang itu telah menyerang belasan ribu pohon di Jawa Timur, Bali, NTB, Jakarta dan terakhir di Yogyakarta.

Sudah banyak yang jadi korban. Jangankan menyentuh badannya, bulu-bulu halus yang rontok dari tubuh ulat bulu itu bisa membuat kulit gatal, bengkak, dan menghitam.

Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih memberikan cara agar warga tak menderita gara-gara ulat bulu. "Jika terkena, cepat dihilangkan bulunya dengan dicuci, kemudian kalau gatalnya tidak hilang bisa berobat ke puskesmas tidak perlu bayar," kata dia di rumah duka Rosihan Anwar, Kamis 14 April 2011.

Menurutnya, hingga saat ini pihaknya belum mendapat laporan mengenai bahaya besar dari wabah ulat bulu tersebut, "Hanya gatal ringan mudah-mudahan tidak ada gangguan lebih dari itu," tambah dia.

Meski menyebar di banyak wilayah, menurut Menkes, wabah ulat bulu belum bisa dikatakan bencana nasional. Pasalnya, pemerintah kota setempat masih bisa menanggulangi penyebaran ulat bulu.

"Belum, karena kalau dibilang bencana nasional masalahnya pertanian, kalau di kesehatannya belum terlalu mengganggu walaupun gatal-gatal lumayan nggak enak juga ya tapi sementara ini masih bisa diatasi," ujar Bu Menkes.

Sebelumnya, Wakil Menteri Pertanian, Bayu Krisnamurthi mengatakan ulat telah menyerang 2,5 persen dari populasi pohon di Indonesia. "14.500 pohon dari 1,8 Juta pohon sudah diterkena ulat bulu," kata dia usai mengisi kuliah umum di Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Kamis 14 April.

Bayu mengakui, meski merebaknya ulat bulu adalah siklus yang sudah terjadi, apa yang terjadi baru-baru ini memang luar biasa. Ini disebabkan dampak perubahan iklim di tahun 2010. Sumber : VIVAnew
Continue Reading

Kemiskinan dan Upaya Pemberdayaan Masyarakat

| 1komentar

Sedikitnya ada dua alasan mengapa masalah kemiskinan dan upaya pemberdayaan masyarakat masih relevan dibahas. Pertama, kendati dalam dua dasawarsa terakhir perkembangan pembangunan maju dengan amat pesat, namun ternyata masih banyak terdapat masyarakat miskin baik di daerah perkotaan maupun daerah pedesaan. Persoalan kemiskinan dan kesenjangan masih menjadi masalah krusial terutama di daerah pedesaan. Persoalan ini tidak dapat diabaikan karena dapat menjadi pemicu pelbagai konflik politik atau gerakan-gerakan politik yang berkepanjangan. Karena itu persolan ini harus dicarikan alternatif pemecahannya supaya tidak mengganggu stabilitas. Kedua, usaha pemberdayaan serta penanggulangan kemiskinan dan kesenjangan menjadi fenomena yang semakin kompleks. Oleh karena itu dengan spektrumkegiatan yang menyentuh pemenuhan berbagai macam kebutuhan sehingga segenap anggota masyarakat dapat mandiri, percaya diri, tidak bergantung dan dapat lepas dari belenggu struktural yang membuat hidup sengsara merupakan sebuah keharusan.

PENDAHULUAN
Kemiskinan merupakan gambaran kehidupan di banyak negara berkembang, mencakup lebih dari satu milyar penduduk dunia, terutama di daerah pedesaan (masyarakat petani). Kemiskinan merupakan permasalahan yang diakibatkan oleh kondisi nasional suatu negara dan  situasi global. Globalisasi ekonomi dan bertambahnya ketergantungan antar negara, tidak hanya merupakan tantangan dan kesempatan bagipertumbuhan ekonomi dan pembangunan suatu negara, tetapi juga mengandung resiko dan ketidakpastian masa depan perekonomian dunia.
 
Indonesia menghadapi masalah yang cukup besar di berbagai bidang, baik bidang sosial ekonomi, kependudukan maupun lingkungan hidup. Semuanya ini akibat dari berbagai kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Dampak dari berbagai kebijakan tersebut adalah semakin banyaknya penduduk miskin di Indonesia.
 
Masyarakat petani merupakan jumlah terbanyak dari kelompok masyarakat miskin. Data statistik sosial ekonomi Indonesia tahun 2004 menunjukkan bahwa 25,9 juta penduduk Indonesia adalah penduduk miskin. Penduduk miskin di kantong-kantong kemiskinan daerah perkotaan sekitar 8,7 juta orang (Jawa 71,3% dan Sumatera15%), dan di pedesaan sekitar 17,2 juta orang (Jawa 48% dan Sumatera 21,9%). Jika indikator kemiskinan ini lebih diperluas, dalam arti tidak hanya dilihat dari tingkat pendapatan, kemungkinan akan diperoleh angka yang jauh lebih tinggi. Kondisi ini selain disebabkan oleh faktor penduduk desa yang terpuruk kelembah kemiskinan akibat dampak ketidak merataan pendistribusian hasil-hasil pembangunan juga oleh sikap mental penduduknya yang mengalami kemiskinan secara alamiah dan kultural, ini ditunjukkan oleh situasi lingkaran ketidakberdayaan mereka yang bersumber dari rendahnya tingkat pendidikan, pendapatan, kesehatan dan gizi, produktivitas, penguasaan modal, ketrampilan dan teknologi serta hambatan infrastruktur maupun etnis sosial lainnya. Hal ini diperparah lagi dengan naiknya berbagai kebutuhan pokok akibat darinaiknya harga bahan bakar minyak (BBM), belum lagi akan adanya kenaikan taraf dasar listrik (TDL), kenaikan tarif dasar telepon dan berbagai kenaikan lainnya

KEMISKINAN DALAM PERSPEKTIF
Secara ekonomistik kemiskinan dikaitkan dengan masalah pendapatan. Karena pengertian ini tidak mampu menjelaskan masalah kemiskinan secara tuntas maka kemiskinan harus didefinisikan secara plural. John Friendman mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan dasar (esensial) individu sebagai manusia, sementara Chambers menggambarkan kemiskinan, terutama di pedesaan mempunyai lima karakteristik yang saling terkait: kemiskinan material, kelemahan fisik, keterkucilan dan keterpencilan, kerentanan, dan ketidakberdayaan. Lebih jauh dikatakan dari kelima karakteristik tersebut yang perlu mendapat perhatian adalah kerentanan dan ketidakberdayaan. Kerentanan menurut Chambers dapat dilihat dari ketidakmampuan keluarga miskin untuk menyediakan sesuatu guna menghadapi situasi darurat seperti datangnya bencana alam, kegagalan panen, atau penyakit yang tiba-tiba menimpa keluarga miskin itu (Chambers, 1983:13). Kerentanan dapat juga dikatakan merupakan kondisi dimana suatu keluarga miskin tidak memiliki kesiapan baik mental maupun material dalam menghadapi situasi sulit yang dialaminya. Kerentanan ini sering menimbulkan kondisi memprihatinkan yang menyebabkan keluarga miskin harus menjual harta benda dan aset produksinya sehingga mereka makin rentan dan tidak berdaya. Sedangkan ketidakberdayaan keluarga miskin salah satunya tercermin dalam kasus dimana elit desa dengan seenaknya memfungsikan diri sebagai oknum yang menjaring bantuan yang sebenarnya diperuntukkan untuk orang miskin. Ketidakberdayaan keluarga miskin di kesempatan yang lain mungkin dimanifestasikan dalam hal seringnya keluarga miskin ditipu dan ditekan oleh orang yang memiliki kekuasaan. Ketidakberdayaan sering pula mengakibatkan terjadinya bias bantuan untuk si miskin kepada kelas di atasnya yang seharusnya tidak berhak memperoleh subsidi, seperti kasus dana Bantuan Langsung Tunai (BLT). Sedangkan menurut Schiller menjelaskan bahwa kemiskinan adalah ke tidak sanggupan untuk mendapatkan barang-barang dan pelayananpelayanan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan sosial yang terbatas (Soetrisno, 2001:40), dan dengan nada yang sama Salim mendefinisikan kemiskinan sebagai kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok (Andre Bayo Ala, 1981:92).

Secara teoritis kemiskinan dapat dipahami melalui akar penyebabnya yang dibedakan menjadi dua kategori :
1. Kemiskinan Natural atau alamiah
Yakni, kemiskinan yang timbul sebagai akibat terbatasnya jumlah sumber daya dan/atau karena tingkat perkembangan teknologi yang sangat rendah. Artinya faktor-faktor yang menyebabkan suatu masyarakat menjadi miskin adalah secara alami memang ada, dan bukan bahwa akan ada kelompok atau individu di dalam masyarakat tersebut yang lebih miskin dari yang lain. Mungkin saja dalam keadaan kemiskinan alamiah tersebut akan terdapat perbedaan-perbedaan kekayaan, tetapi dampak perbedaan tersebut akan diperlunak atau dieliminasi oleh adanya pranata-pranata tradisional, seperti pola hubungan patron-client, jiwa gotong royong dan sejenisnya yang fungsional untuk meredam kemungkinan timbulnya kecemburuan sosial.

2. Kemiskinan struktural
Yakni, kemiskinan yang terjadi karena struktur sosial yang ada membuat anggota atau kelompok masyarakat tidak menguasai sarana ekonomi dan fasilitas-fasilitas secara merata. Dengan demikian sebagian anggota masyarakat tetap miskin walaupun sebenarnya jumlah total produksi yang dihasilkan oleh masyarakat tersebut bila dibagi rata dapat membebaskan semua anggota masyarakat dari kemiskinan. Kemiskinan struktural ini dapat diartikan sebagai suasana kemiskinan yang dialami oleh suatu masyarakat yang penyebab utamanya bersumber,dan oleh karena itu dapat dicari pada strukur sosial yang berlaku dalam masyarakat itu sendiri. Oleh karena struktur sosial yang berlaku adalah sedemikan rupa keadaannya sehingga mereka yang termasuk ke dalam golongan miskin tampak tidak berdaya untuk mengubah nasibnya dan tidak mampu memperbaiki hidupnya. Struktur sosial yang berlaku telah mengurung mereka kedalam suasana kemiskinan secara turun temurun selama bertahun-tahun. Sejalan dengan itu, mereka hanya mungkin keluar dari penjara kemelaratan melalui suatu proses perubahan struktur yang mendasar.

Kemiskinan struktural, biasanya terjadi di dalam suatu masyarakat di mana terdapat perbedaan yang tajam antara mereka yang hidup melarat dengan mereka yang hidup dalam kemewahan dan kaya raya. Mereka itu, walaupun merupakan mayoritas terbesar dari masyarakat, dalam realita tidak mempunyai kekuatan apa-apa untuk mampu memperbaiki nasib hidupnya. Sedangkan minoritas kecil mayarakat yang kaya raya biasnya berhasil memonopoli dan mengontrol berbagai kehidupan, terutama segi ekonomi dan politik. Selama golongan kecil yang kaya raya itu masih menguasai berbagai kehidupan masyarakat, selama itu pula diperkirakan struktur sosial yang berlaku akan bertahan. Akibatnya terjadilah apa yang disebut dengan kemiskinan struktural.

DAFTAR RUJUKAN
Andre Bayo Ala. 1996. Kemiskinan dan Strategi memerangi Kemiskinan.
Liberti Yogyakarta.
Chambers Robert. 1983. Pembangunan Desa (Mulai dari belakang). LP3ES.
Jakarta.
Freidmeann, 1993. EMPOWERMENT (The Politics of Alternative
Development). Blackwell Publishers Three Cambridge Center USA.
Harry Hikmat. 2001. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Humaniora Utama
Press Bandung.
Margono Slamet. 2000. Memantapkan Posisi dan meningkatkan Peran
Penyuluhan Pembangunan dalam Pembangunan
. Dalam Proseding
Seminar IPB Bogor: Pemberdayaan Sumberdaya Manusia Menuju
Terwujudnya Masyarakat Madani. Pustaka Wira Usaha Muda.

Sayogyo.1999. Memahami dan Menanggulangi Kemiskinan di Indonesia. (Prof
Sajogyo 70 Tahun). Kerja sama Fakultas Pertanian Institut
Pertanian Bogor, Ikatan Sosiologi Indonesia (ISI) Cabang Bogor,
dan PT Grasindo.

Sumaryo.1991. Implementasi Participatory Rural Appraisal (PRA) dalam
Pemberdayaan Masyarakat. Disampaikan dalam Pelatihan
Pengorganisasian Masyarakat dalam rangka Peningkatan Mutu
Pengabdian pada Masyarakat,
di IAIN Raden Intan Bandar
Lampung, 26 November 2005.
Supriyatna Tjahya. 1997. Birokorasi Pemberdayaan dan Pengentasan
Kemiskinan. Humaniora Utama Press Bandung.

Sutrisno R. 2001. Pemberdayaan Masyarakat dan Upaya Pembebasan
Kemiskinan. Philosophy Press bekerja sama Fakultas filsafat UGM.

Yogyakarta.
Vidhyandika Moeljarto. 2000. Pemberdayaan Kelompok Miskin Melalui
Program Inpres Desa Tertinggal.
Centre For Strategic And
International Studies Jakarta.
Continue Reading

Keagamaan dan Toleransi

Jumat, 15 April 2011 | 1komentar

Prof. Dr. H. Nur Syam, M.Si
Rektor IAIN Sunan Ampel
Pengantar

Secara hakiki, bahwa tidak ada manusia yang hidup sendirian di dunia ini. Seseorang pasti membutuhkan lainnya dalam menjalani kehidupan. Di dalam cerita keagamaan, maka ketika Nabi Adam hidup sendirian di surga, maka beliau kesepian. Ketika beliau melamun seorang diri, maka datanglah kemudian Hawwa yang kemudian menjadi kawannya. Maka, ketika Nabi Adam dipindahkan ke dunia, maka kemudian Hawwa menjadi isterinya. Dari dua orang inilah kemudian menghasilkan manusia yang jumlahnya sangat banyak dengan bergolongan-golongan, dalam etnis, suku dan bahasa.

Keragaman dan toleransi adalah pasangan kata yang memang tepat dipersandingkan. Keragaman merupakan keniscayaan di dalam kehidupan ini, sebab tidak ada masyarakat yang tidak beragam keadaannya. Keragaman dalam etnis, suku, agama dan bahasa dan busaya. Di dalam suatu masyarakat yang paling simple pun pasti terdapat suatu keadaan yang beragam. Keragaman bisa dikaitkan dengan kata pluralitas dan juga multikulturalitas.


Keragaman dan Toleransi

Menurut George Cuvier, bahwa terdapat tiga ras yang menghuni dunia ini. Kaukasoid menghuni benua Eropa, Mongoloid menghuni Benua Asia dan Negroid menghuni benua Afrika.[3] Tetapi juga terjadi mutasi antar benua. Jika dicermati maka sesungguhnya terdapat mutasi antar etnis di dalam dunia ini. Misalnya mutasi yang dilakukan oleh Etnis Arya dari Eropa ke Timur Tengah, dan juga mutasi orang kulit hitam dari Australia ke wilayah Polinesia atau sebaliknya. Demikian pula suku Mongoloid ke wilayah Asia Tenggara dan sebagainya. Secara antropologis, bahwa mutasi etnis ini merupakan suatu yang sangat wajar, sebab mereka memang malakukan perjalanan dari suatu wilayah ke wilayah lain. Bahkan lebih jauh, juga terjadi perkawinan antar etnis. Misalnya ya terjadi di Amerika, Australia dan sebagainya.

Akan tetapi juga kemudian terjadi stereotipis tentang masing-masing etnis tersebut, sesuai dengan konstruksi yang dihasilkan oleh masyarakat yang melakukan konstruksi. Misalnya, Carl Von Linne yang menyatakan, bahwa berdasarkan warna kulit dan sifat yang melekat: Bangsa kulit merah (Indian-Amerika) terbelenggu adat, Orang Asia berkulit kuning berwatak rakus, arogan, tamak dan cerewet. Orang berkulit hitam (Afrika) licik, lamban, ceroboh dan mencla-mencle atau tidak teguh pendirian. Orang Eropa berkulit putih berwatak disiplin tinggi, amat teliti, berjiwa penemu dan taat hukum.

Makanya, Syed Naguib al Attas lalu membuat sebuah proposisi tentang kaum pribumi. Menurutnya bahwa pribumi malas hanyalah mitos belaka. Ya, pribumi malas hanyalah mitos yang diciptakan oleh orang barat tentang kenyataan historis orang-orang Melayu dan sebagainya. Saya sependapat dengan Syed Naguib Al Attas tentang kemalasan hanya sebagai mitos. Sebab kenyataannya bahwa orang malas atau tidak bukan menjadi label bagi suatu suku tertentu akan tetapi saling terkait dengan berbagai faktor lainnya.

Sebagai salah satu perintis penyelidikan sosiologi di Asia Tenggara paling utama, beliau menulis kurang lebih 14 buku. Mitos Pribumi Malas adalah sebuah kritik terhadap pandangan bias Barat terhadap Timur sebelum Edward Said menulis Orientalism: Western Conception of the Orient (1978). Bahkan dalam bukunya Culture and Imperialism (1993), Said menyebut karya Alatas sebagai startingly original dan di dalam buku ini juga Said banyak merujuk kepada pemikirannya.Buku tersebut berusaha menganalisis asal-usul dan fungsi ‘mitos pribumi malas’ dari abad ke-16 hingga ke-20 di Malaysia, Filipina, dan Indonesia. Pelekatan sifat tidak beradab ini tidak bisa dilepaskan dari upaya ideologi kapitalisme Barat yang berusaha untuk mencari pembenaran dalam memajukan dan mengadabkan bangsa jajahan. Lebih parah lagi, kolonialis juga memberikan makanan buruk dan opium, dan pemisahan dari lingkungan alamiahnya agar pribumi merada rendah diri dan tidak cukup sehat untuk menjadi manusia.

Dari dimensi teologis, bahwa memang manusia diciptakan secara bergolong-golongan. Al Qur’an juga menceritakan tentang bagaimana Allah menciptakan manusia secara berkelompok atau bergolongan. Allah menyebut dengan kata syu’ub atau berbangsa-bangsa dan qabail atau bersuku-suku. Allah telah menciptakan manusia dalam berbagai penggolongan, bersuku-suku dan berbangsa-bangsa. Di dalam hal ini, Al Qur’an menyatakan: ”Inna khalaqnakum min dzakarin wa untsa wa ja’alnakum syu’uban wa qabailan, lita’arafu.” Artinya: ”Sesungguhnya Allah menciptakan kamu dari kaum lelaki dan perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kamu saling mengenal”.

Keragaman adalah sunnatullah. Keragaman merupakan bagian dari sesuatu yang bercorak natural. Memang harus seperti itu. Ada etnis Cina, Arab, Eropa, Negro. Amerika Latin dan sebagainya dengan corak warna kulit, adat istiadat, tradisi, bahasa dan komunikasi dan sebagainya. Semua memiliki ciri khasnya masing-masing.

Jumlah pulau di Indonesia menurut data Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia tahun 2004 adalah sebanyak 17.504 buah. 7.870 di antaranya telah mempunyai nama, sedangkan 9.634 belum memiliki nama. Mungkin tak banyak warga negeri ini yang tahu, berapa persisnya jumlah suku bangsa di Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) ternyata telah melakukan survei mengenai jumlah suku bangsa tersebut. Kepala BPS, Rusman Heriawan, dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi XI DPR RI, Rabu (3/2), menyampaikan bahwa dari hasil sensus penduduk terakhir, diketahui bahwa Indonesia terdiri dari 1.128 suku bangsa. Dengan sebanyak 583 ragam bahasa daerah.

Semenjak Empu Tantular menulis tentang Bhinneka Tunggal Ika, maka sesungguhnya kesadaran tentang pluralitas dan multikulturalitas sudah dimiliki oleh para leluhur bangsa ini. Kerajaan Kahuripan, Jenggala, Majapahit dan diteruskan oleh kerajaan-kerajaan Islam sudah memberikan gambaran tentang implementasi pluralitas dan multikulturalitas tersebut.

Di wilayah kerajaan Nusantara ini memang semenjak semula memiliki varian suku, ras dan agama. Di kerajaan Majapahit terdapat aneka pemeluk agama; Hindu, Budha, Islam dan Budha-Syiwa, dan juga keyakinan lokal lainnya. Semenjak Wangsa Isyana menguasai tanah Jawa, Sri Erlangga, kemudian Sri Jayabaya, dan raja-raja Majapahit, maka di kerajaan-kerajaan tersebut sudah terdapat kehidupan yang bhinneka tunggal ika. Di negara-negara tersebut telah hidup suku Jawa, Cina, Arab dan bangsa-bangsa lain dengan aneka agama dan kepercayaannya.

Pluralitas dan multikulturalitas ternyata sudah melazimi kehidupan masyarakat ini semengoogjak dahulu kala. Hanya saja bahwa di tengah kehidupan yang semakin cepat berubah ini, ternyata masih ada yang menganggap etnisitas, ras dan golongan merupakan masalah. Ini berarti bahwa masalah entisitas yang telah menjadi bagian dari historisitas bangsa ternyata masih memendam persoalan social and etnicity prejudice.

Munculnya persoalan itu bukan semata-mata disebabkan oleh relasi etnisitas namun juga lebih disebabkan oleh aspek kepentingan: bisa sosial, politik, ekonomi dan juga budaya. Dalam bidang ekonomi, misalnya social and etnicity prejudice disebabkan oleh faktor kesejahteraan. Orang Cina yang minoritas menguasai lebih besar kesejahteraan, sementara Orang pribumi yang mayoritas justru yang terpuruk.

Siapapun mengakui bahwa agama mengandung unsur keyakinan yang sangat mendasar. Ia mengandung sesuatu yang sangat sakral dan melibatkan seluruh emosi manusia yang sangat mendalam. Ia adalah sesuatu yang ultimate concern. Keterlibatan terhadap sesuatu yang tidak terbatas, sehingga ketika persoalan agama ini dicederai atau dinodai, maka akan menyebabkan orang marah dan sangat mungkin menimbulkan konflik. Bukankah banyak konflik sosial bernuansa agama di Indonesia. Konflik sosial yang kemudian menjadi semakin mengeras sebab agama terlibat di dalamnya

Kerusuhan Banjarmasin sesungguhnya dipicu oleh persoalan politik tetapi bernuansa agama. Peristiwa ini dimulai waktu kampanye pemilu tahun 1997. arak-arakan Golkar dilaksanakan pada waktu hari Jum’at di mana orang Islam sedang melakukan shalat Jum’at. Ketika rombongan tersebut melewati masjid An Nur, maka kemarahan warga tidak dapat ditahan sehingga terjadilah konflik yang keras.

Kerusuhan di Mataram dipicu oleh aksi solidaritas masyarakat terhadap peristiwa konflik di Maluku. Ketika mereka melakukan apel solidaritas, maka ketika mereka pulang kemudian melakukan penyerangan terhadap Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB) kemudian peristiwa ini menyebabkan konflik antar agama di sini.

Dalam Kerusuhah Kalimantan Barat, sebenarnya dipicu oleh persoalan sosial yaitu bentrokan antar pribadi antara pemuda Dayak dan Madura, Namun akhirnya menjadi bentrokan antar suku dan akhirnya menjadi konflik antar etnis yang melibatkan masyarakat di beberapa kecamatan di Kabupaten Sambas. Peristiwa ini menyebabkan kerusakan fisik dan juga trauma berkepanjangan dari mereka.

Kronologi peristiwa kerusuhan di Kupang terjadi karena peserta upacara perkabungan umat Kristiani tanggal 30 Nopember 1998. peserta pawai ini kemudian melakukan pelemparan terhadap paa pedagang dan ketika sampai di depan masjid mereka saling lempar sehingga terjadi kerusakan dan bahkan juga ada beberapa masjid yang dibakar. Akibatnya kemudian adalah terjadinya konflik yang tentu saja merugikan ke dua belah pihak.

Seirama terjadinya berbagai konflik yang terjadi di Indonesia, maka sesungguhnya kata yang diperlukan untuk dipertanyakan adalah tentang toleransi. Sebagaimana telah diketahui bahwa melalui toleransilah keragaman akan dapat dipahami sebagai suatu kekuatan bangsa. Tanpa toleransi maka suatu bangsa yang besar sekalipun akan tidak memiliki kemampuan untuk menyangga beban pluralitas dan multikulturalitasnya. Semangat plualisme telah terjadi bersamaan dengan berdirinya Boedi Oetomo, 20 Mei 2008 dan kemudian juga Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. penyatuan pluralisme tersebut diungkapkan lewat konsep bangsa, bahasa dan tanah air Indonesia. Dan sebagaimana diketahui bahwa konsep tersebut tidak serta merta menghilangkan keragaman dan lokalitas.

Keragaman suku bangsa, etnis dan bahasa serta budaya tetap menjadi ciri khas bangsa ini. Hanya saja ketika keragaman tersebut memunculkan kesadaran baru etnosentrisme dan supra lokalitas, maka tentu hal ini akan mengganggu terhadap kesatuan bangsa dan negara yang dicita-citakan bersama oleh para pendiri bangsa.

Dewasa ini kita sedang berada di dalam sebuah negara yang terlibat di dunia global. Sebagai konsekuensinya, maka akan muncul keterikatan baru atau neo pluralitas, misalnya tentang kesamaan gender, budaya massa, ideologi trans-nasional dan sebagainya. Akibatnya, maka konsep bangsa, nsionalisme atau negara bangsa bisa menjadi tereduksi oleh hal ini. Tentang ideologi trans-nasionalisme maka ada sebuah keyakinan bahwa konsep nasionalisme kebangsaan tidak ada lagi sebab orang dipersatukan oleh khilafah yang merupakan satu kesatuan dunia. Khilafah Islamiyah misalnya adalah representasi pemerintahan Islamyang tidak dibatasi oleh sekat nasionalisme lokalitas akan tetapi universalitas sistem pemerintahan berbasis Islam.

Suatu kenyataan bahwa lokalitas, bahasa, agama dan etnisitas adalah simbol-simbol yang jika tidak dimanej dengan baik baik akan berpotensi menyebabkan kerusuhan, pertentangan dan konflik. Makanya, untuk menjaga agar terjadi kesepahaman tentang hal ini, salah satu di antaranya adalaj melalui membangun kesepahaman akan pentingnya toleransi.

Namun demikian yang perlu diperhatikan adalah bagaimana batas toleransi tersebut. Di dalam kehidupan keberagamaan, maka yang penting diperhatikan adalah memahami bahwa persoalan teologis agama-agama harus dianggap selesai. Hal ini tidak perlu untuk dibicarakan. Teologi agama-agama memang harus seperti itu. pasti ada perbedaan antara satu agama dengan lainnya. suatu ungkapan yang menarik pernah diungkapkan oleh KH. Hasyim Muzadi, bahwa “yang sama jangan dibedakan dan yang beda jangan disamakan”. Sebuah ungkapan yang sarat dengan pandangan pluralisme dan multikultruralisme yang sangat mendasar.

Di dalam suatu kesempatan peringatan 40 hari wafatnya Gus Dur di Masjid Al-Akbar Surabaya, di mana Gus Sholah, adik Gus Dur, mengungkapkan tentang bagaimana cara dan substansi Gus Dur di dalam memandang pluralisme. Dinyatakan bahwa Gus Dur membagi pluralisme dalam dua sisi, yaitu pluralisme teologis dan pluralisme sosial.

Di dalam pluralisme teologis, maka seseorang berkeyakinan bahwa semua agama secara teologis sama. Ada satu Tuhan yang diyakini oleh semua penganut agama. Tuhan itu hakikatnya satu. Hanya penyebutannya saja yang berbeda. Bisa disebut Allah (menurut orang Islam), atau Allah (menurut orang Kristen), Yahweh (menurut orang Yahudi), Ahuramazda (menurut orang Majusi), Sang Hyang Widhi (menurut orang Hindu) atau Sang Budha (menurut orang Budha) dan sebagainya. Sebutan itu hanyalah nama, akan tetapi hakikinya adalah Tuhan yang satu saja.

Konsekuensi dari kesamaan Tuhan itu juga akan berimplikasi pada upacara ritual yang akan dan harus dilakukan. Di dalam pluralisme teologis, tentu tidak ada perbedaan upacara ritual antara satu agama dengan lainnya. Misalnya seperti keyakinan yang dibangun oleh Anand Khrisna, maka yang penting adalah melakukan meditasi yang dirancang berbasis pada pengalaman spiritualnya. Bisa jadi orang tidak perlu shalat lima kali dalam sehari. Cukup semedi saja.

Memahami terhadap kenyataan ini, maka persoalan pluralisme tidak agi penting untuk diperdebatkan sebab jika masih ada pandangan bahwa pluralisme tersebut sama dengan gagasan menyamakan semua agama, maka pandangan tersebut tentunya harus direvisi. Jika pluralisme teologis memang bisa dipersalahkan, akan tetapi terhadap pluralisme sosial kiranya memang harus diapresiasi sebagai bagian dari kesadaran bahwa memang masyarakat kita  Indonesia adalah masyarakat yang terdiri dari berbagai etnis, suku, bahasa dan adat istiadat.



Kerukunan Sebagai Pilar Keragaman dan Toleransi

Bahwa hak beragama adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Inilah yang disebut sebagai freedom to be. Di dalam hal ini, negara tidak boleh mencampuri urusan freedom to be dimaksud. Misalnya orang Islam harus menyebut Muhammad saw sebagai rasulullah. Shalat wajib harus lima kali sehari dengan urutan dan waktu yang sudah ditentukan.

Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk utk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. di dalam hal ini, maka pemerintah berkewajiban melindungi setiap usaha penduduk melaksanakan ajaran agama & ibadat pemeluk-pemeluknya. Pemerintah mempunyai tugas untuk memberikan bimbingan dan pelayanan agar setiap penduduk dlm melaksanakan ajaran agamanya dapat berlangsung dgn rukun, lancar, dan tertib;

Arah kebijakan Pemerintah dalam pembangunan nasional di bidang agama antara lain peningkatan kualitas pelayanan dan pemahaman agama, kehidupan beragama, serta peningkatan kerukunan intern dan antar umat beragama. Agama memang selalu menjadi topik menarik dalam setiap even membahas relevansinya bagi kehidupan masyarakat, pemerintah dan negara. Tidak terkecuali adalah ketika agama dipertanyakan kembali relevansinya bagi pembangunan nasional. Agama memang menjadi pattern for behavior di dalam kehidupan manusia dan juga masyarakat.

Sebagai pedoman di dalam kehidupan manusia, agama sering menjadi sasaran ketika tafsir agama dimaksud menyebabkan terjadinya permasalahan di dalam masyarakat tersebut. Tidak terkecuali di dalam acara National Summit yang dilaksanakan selama dua hari, Kamis –Jum’at, 29-30 Oktober 2009. Di dalam National Summit ini juga banyak yang mempertanyakan bagaimana agama dapat dijadikan sebagai spirit dalam membangun masyarakat Indonesia.

Ada tiga fokus pembicaraan tentang relasi agama dan masyarakat, yaitu agama dalam relasinya dengan kerukunan umat, agama dalam relevansinya dengan peningkatan kehidupan umat dan agama dalam relevansinya dengan tantangan pembangunan secara menyeluruh atau menjadikan agama sebagai spirit pembangunan. Tentu yang saya tulis ini bisa saja tidak sama dengan rekomendasi sidang Komisi VI yang membincang tentang “agama dan Pembangunan Nasional”. Tetapi yang jelas bahwa perbincangan dari para diskusan dapatlah diresume dalam tiga fokus pembicaraan tersebut. Tulisan ini baru membincangkan tentang relasi antara agama dengan tantangan pembangunan keberagamaan ke depan.

Kerukunan umat beragama merupakan pilar kerukunan bangsa dan negara. Kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pemeliharaan kerukunan umat beragama adalah upaya bersama umat beragama dan Pemerintah di bidang pelayanan, pengaturan, dan pemberdayaan umat beragama.

Rukun, bahwa maknanya rang Indonesia (khususnya Orang Jawa) selalu mengedepankan kerukunan dalam kehidupannya. Harmoni, artinya orang Indonesia (khususnya Orang Jawa) selalu mengedepankan keseimbangan antara mikro kosmos dan makro kosmos. Kemudian Selamet, yang berarti bahwa orang Indonesia (khususnya orang Jawa) sangat menjaga keselamatan baik dengan sesama manusia, alam dan Tuhan

Dengan demikian, yang sesungguhnya diharapkan adalah bagaimana mengembangkan sikap dan tindakan yang mengedepankan kerukunan antar suku, etnis dan agama secara sungguh-sungguh. Jadi yang diharapkan bukan pluralisme atau multikulturalisme butik, di mana kerukunan dan keharmonisan hanyalah di luarnya saja. Hal itu hanya dilakukan dengan duduk bersama, makan bersama dan berbicara bersama, akan tetapi tidak menjelma ke dalam membangun program kerja bersama.

Jadi, ke depan yang perlu dikembangkan adalah bagaimana membangun tidak sekedar co eksistensi tetapi pro eksistensi.

Wallahu a’lam bi al shawab.
Continue Reading
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. JURUSAN PMI - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger